25 Juni 2025 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi. Psikolog
Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Bulan Juni mengajak kita merenungkan kasih Allah melalui Pesta Hati Kudus Yesus yang melambang cinta tanpa syarat, kasih yang lemah lembut, penuh penerimaan, dan pengampunan. Dalam terang ini, kita diundang untuk membuka hati terhadap kasih Allah, bukan hanya bagi sesama, tetapi juga bagi diri sendiri.
Hati Kudus Yesus menampilkan kasih yang radikal dan inklusif, seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius 11:28-30: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan”. Ayat ini mengundang kita untuk mengenali bahwa kasih Yesus bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga bagi diri kita sendiri. Namun, dalam praktiknya, bukan tak mungkin kita justru merasa lebih mudah mengasihi orang lain daripada menerima kelemahan atau kegagalan kita sendiri. Di sinilah pentingnya bersikap welas asih kepada diri sendiri.
Welas asih terhadap diri sendiri, atau self-compassion, adalah sikap lembut dan hangat pada diri, khususnya saat menghadapi penderitaan, kegagalan, ataupun luka batin. Kristin Neff, psikolog yang memperkenalkan konsep ini, menyebutkan tiga pilar utama dalam konsep welas asih diri, yaitu:
- Kebaikan hati terhadap diri: mengganti kritik tajam dan penghakiman diri dengan kehangatan dan dorongan untuk bertumbuh. Ini bukan berarti membenarkan kesalahan, melainkan memahami dan bertumbuh darinya.
- Kemanusiaan bersama: menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari pengalaman semua orang sehingga kita tak merasa sendirian.
- Kesadaran penuh (mindfulness): menyadari dan mengenali perasaan seapa adanya, tanpa berlebihan atau menyangkalnya.

Dalam terang iman Katolik, kita diajak untuk memandang walas asih sebagai bagian dari kasih Allah yang mengalir dalam diri kita. Mengasihi diri bukanlah egoisme, melainkan pengakuan bahwa kita adalah ciptaan Allah yang berharga. Seperti yang disampaikan St. Fransiskus dari Sales, “Bersikaplah lembut pada dirimu sendiri seperti kamu bersikap lembut pada orang lain.”
Melalui sikap welas asih diri, kita belajar untuk memandang diri kita dengan sudut pandang Kristus yang penuh kasih. Ketika kita merasa gagal, kita bisa berkata, “Tuhan memelukku dalam kelemahanku,” dan ketika kita menghadapi tantangan, kita dapat berdoa “Yesus, ajarilah aku untuk setia mengasihi diriku sebagaimana Engkau mengasihiku.”
Dengan belajar mengasihi diri dalam kelemahan dan kegagalan, kita menjadi lebih mampu mengasihi sesama dengan tulus. Saat kita berhenti menghakimi diri, kita juga lebih mudah memahami orang lain. Dengan kata lain, kehangatan dan kelembutan yang kita beri pada diri sendiri akan terpancar dan mengalir pada sesama melalui relasi yang kita jalin, seperti yang ditulis oleh Rasul Paulus pada Jemaat di Kolose “Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Dan di atas semuanya itu: kasih, yang merupakan pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” (Kol. 3:12–14).

Welas asih dapat menyembuhkan hati yang terluka. Bagaikan oasis di tengah gersangnya padang gurun kehidupan, welas asih akan memuaskan dahaga kita akan kebutuhan untuk diterima dan dikasihi. Untuk itu, marilah kita berlatih mempraktikkannya dalam keseharian. Misalnya, ketika menghadapi tekanan hidup, kita bisa mengambil jeda untuk berdoa, bermeditasi, dan berbicara dengan orang yang kita percayai. Di saat yang sama, kita dipanggil untuk menjadi saluran kasih bagi orang lain, misalnya dengan mendengarkan tanpa menghakimi, mengampuni, dan mendoakan mereka yang terluka.
Merayakan Hati Kudus Yesus berarti membuka hati untuk kasih yang menyembuhkan. Mari kita mohon agar hati kita makin menyerupai Hati Kudus-Nya: hati yang lembut, penuh pengampunan, dan kasih yang tak terbatas. Dalam hati yang terbuka dan lembut, kasih Allah akan menemukan tempat tinggalnya.
Referensi:
Neff, K. D. (2011). Self-compassion: Stop beating yourself up and leave insecurity behind. HarperCollins.
Sumber gambar: