Meaning-Making: Jalan Menuju Kelegaan di Tengah Kesulitan

9 Februari 2024 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Ketika mendengar kata ‘kehidupan’, apa yang terlintas di benak Anda? Berkat? Anugerah? Perjalanan? Petualangan? Pembelajaran? Atau mungkin penderitaan? Kalau kata Victor Frankl (2006), salah satu tokoh psikologi yang mendalami topik pemaknaan hidup, kehidupan tak bisa lepas dari penderitaan. Bahkan, tanpa penderitaan, hidup tak akan lengkap, karena justru dari penderitaan itulah makna bisa ditemukan. Tapi, bagaimana caranya?

Pada posting-an sebelumnya, sudah dibahas bagaimana pendekatan eudaimonic dapat membantu kita untuk memaknai penderitaan, sehingga bahagia tetap dapat dirasakan. Dalam praktiknya, pendekatan eudaimonic dapat dilakukan melalui meaning-making, yaitu  proses memahami, menginterpretasi, dan memaknai ulang peristiwa yang dialami, khususnya peristiwa sulit (Khei, 2019; Matos dkk., 2018; Park, 2010). Sesuai dengan definisinya, yaitu ‘proses’, artinya meaning-making tentu tak serta-merta dilakukan, melainkan melalui beberapa hal, yaitu positive reappraisal, mengubah dan menyesuaikan tujuan beserta rencana sesuai realita, serta mempraktikkan aktivitas spiritualitas ataupun religiusitas (Folkman, 1997).

Saat menjumpai situasi yang tak menyenangkan, pernahkah muncul pemikiran “Mengapa aku?” di benak Anda? Sebenarnya hal ini bisa jadi pemantik meaning-making (Park, 2010) yang akan mengarahkan kita pada positive reappraisal, yaitu upaya melihat situasi dari sudut pandang positif (Folkman, 1997). Terdengar cukup menantang ya, apalagi di saat situasi sulit. Hal ini bisa dibantu dengan nilai atau keyakinan positif yang dipegang teguh (Folkman, 1997; King dkk., 2023; Park, 2010), misalnya “Apapun yang terjadi adalah yang terbaik” atau “Tuhan Maha Pengasih”. Dengan begitu, kita akan memiliki pemahaman bahwa sekalipun sulit, namun sebenarnya apa yang sedang dialami adalah bentuk cinta Tuhan sehingga kita mampu melihat sisi positifnya.

Nilai yang dipegang dapat mendorong langkah berikutnya, yaitu merevisi tujuan dan rencana untuk mencapainya (Folkman, 1997). Keyakinan bahwa apa yang terjadi adalah kehendak Tuhan yang Maha Pengasih dapat menjadi bahan bakar bagi kita untuk terus bergerak. Kita bisa menanyakan diri sendiri “Apa yang bisa kuubah?” atau “Apa yang bisa kulakukan?” Dalam menentukan tujuan, kita bisa menggunakan rumus S.M.A.R.T. yang merupakan akronim dari Specific, Measurable, Attainable, Relevant, dan Time-bound. Artinya, tujuan yang ditentukan sebaiknya spesifik dan dapat diukur, namun juga realistis untuk dicapai. Tujuan juga hendaknya relevan dengan nilai yang dipegang dan memiliki target waktu tercapainya tujuan (Sutton & Neuhaus, 2020).

Selain mengambil tindakan, melakukan praktik-praktik spiritualitas dan religiusitas tentu juga menjadi bagian yang penting dari meaning-making (Folkman, 1997; King dkk., 2023). Seseorang yang mempraktikkan kegiatan religiusitas ataupun spiritualitas terbukti lebih mampu melihat persoalan dari sudut pandang positif dan melakukan aksi nyata untuk menyelesaikan persoalannya (Folkman, 1997). Religiusitas akan mendorong kita menemukan makna dalam hidup sehingga kesejahteraan psikologis akan meningkat. Meski begitu, hal ini bisa terjadi apabila kegiatan religiusitas didasari oleh motivasi internal alias dorongan dari dalam diri sendiri (You & Lim, 2019). Sebagai umat Katolik, kita memiliki berbagai doa dan devosi yang menuntun kita pada keberserahan bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik. Misalnya, dalam doa Bapa Kami jelas berbunyi “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu”. Begitu pula pada peristiwa-peristiwa dalam doa Rosario yang mengingatkan kita untuk memanggul Salib dengan kasih dan bahwa Allah selalu menyertai. Ada pula Serenity Prayer yang berbunyi “Tuhan, berilah kami anugerah untuk menerima dengan tenang apa yang tidak bisa kami ubah, keberanian untuk mengubah apa yang harus kami ubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya”.

Ketika kita mampu melakukan ketiga hal di atas, buah-buah meaning-making akan dirasakan. Kita akan mampu melihat dari perspektif makro sehingga mendapat makna baru dari peristiwa sulit yang sedang dialami yang akan menuntun pada pemahaman mengapa hal ini terjadi pada kita. Alhasil, kita tak hanya menjadi mampu menerima dan berdamai dengan situasi sulit, namun juga mengerti bahwa situasi ini adalah bagian dari pembelajaran kehidupan yang akan mendewasakan diri sehingga kualitas diri dapat meningkat (Park, 2010).

Sedikit mengutip dari apa yang disampaikan Romo Yuyun pada misa arwah Oktober tahun lalu, “Tuhan menciptakan keindahan dan tak mungkin memusnahkannya”. Keindahan ada dan akan terus ada, hanya saja ada kalanya terselip atau tersembunyi dibalik pergulatan hidup sehingga perlu ditelisik kembali.

Penderitaan adalah bagian dari kehidupan. 
Penderitaan adalah ujian kehidupan yang menghasilkan bekal kehidupan. 
Kesabaran, mawas diri, dan ketabahan menjadi proses pembelajaran. 
Penderitaan mematikan kesombongan, menumbuhkan kekuatan baru, 
melahirkan kebijaksanaan yang berguna bagi diri dan sesama. 
Penderitaan adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri. 
(Suryomentaram, 1985)

Referensi:

  • Folkman, S. (1997). Positive psychological states and coping with severe stress. Social Science & Medicine, 45, 1207–1221.
  • Frankl, V. (2006). Man’s search for meaning. Boston: Beacon Press.
  • Khei, Z. A. M. (2019). Dialectical thinking and meaning-making in negative experiences. [Doctoral dissertation, Queen’s University]. Queen’s Graduate Theses and Dissertations. http://hdl.handle.net/1974/26493
  • King, P.E., Mangan, S., Riveros, R. (2023). Religion, Spirituality, and Youth Thriving: Investigating the Roles of the Developing Mind and Meaning-Making. In: Davis, E.B., Worthington Jr., E.L., Schnitker, S.A. (eds) Handbook of Positive Psychology, Religion, and Spirituality. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-031-10274-5_17
  • Matos, L., Indart, M., Park, C., & Leal, I. (2018). Meaning-making and psychological adjustment following refugee trauma. Congresso Nacional de Psicologia da Saúde. https://core.ac.uk/reader/154173807 
  • Park, C. L. (2010). Making sense of the meaning literature: An integrative review of meaning-making and its effects on adjustment to stressful life events. Psychological Bulletin, 136(2), 257–301. https://doi.org/10.1037/a001830
  • Suryomentaram, Ki Ageng. (1985). Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Ida Ayu Press.
  • Sutton, J. & Neuhaus, M. (2020, July 1). Goal-setting: 20 templates & worksheets for achieving goals. https://positivepsychology.com/goalsettingtemplatesworksheets
  • You, S., & Lim, S. A. (2019). Religious Orientation and Subjective Well-being: The Mediating Role of Meaning in Life. Journal of Psychology and Theology, 47(1), 34-47. https://doi.org/10.1177/0091647118795180

Sumber gambar:

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan