Menu Close

Mencintai Tanpa ‘Tapi’: Meneladani Kasih Bunda Maria yang Tidak Mengenal ‘Jika’

24 Mei 2025 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Bulan Mei selalu memiliki tempat istimewa dalam tradisi Gereja Katolik sebagai Bulan Maria. Di bulan ini, kita diajak merenungkan kasih seorang ibu yang melambangkan kehangatan dan cinta tanpa syarat, yakni Bunda Maria. Kasihnya yang tak terbatas dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk membangun empati sejati dalam kehidupan sehari-hari.

Bunda Maria dikenal karena penerimaannya yang tulus dan keberserahannya yang utuh terhadap panggilan Allah. Ketika malaikat Gabriel mengumumkan bahwa ia akan mengandung Putra Allah (Lukas 1:26-38), respon Bunda Maria adalah “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Sikap ini menunjukkan betapa besarnya cinta Bunda Maria kepada Allah yang ditunjukkan lewat penerimaan dan keberserahannya sepenuh hati terhadap kehendak Allah meskipun ia tahu bahwa jalan yang dihadapinya akan penuh tantangan. Sikap tersebut tak hanya menunjukkan bahwa Bunda Maria mampu melihat kehendak Allah dari kacamata cinta, tetapi juga mampu mencintai Allah tanpa syarat.

Kasih Bunda Maria juga terlihat dalam perjalanannya mendampingi Yesus hingga penyaliban. Di tengah penderitaan Yesus, ia tetap hadir sebagai simbol kekuatan dan cinta tanpa batas. Sebagai manusia, ini adalah panggilan yang luar biasa berat, tetapi kasihnya membuatnya tetap bertahan.

Dalam dunia psikologi, cinta tanpa syarat dikenal dengan istilah unconditional positive regard atau yang sering juga disebut sebagai unconditional love yang dicetuskan oleh Carl Rogers. Ia menggambarkan cinta ini sebagai penerimaan seseorang sepenuhnya, tanpa syarat atau tuntutan tertentu. Dalam konteks duniawi, cinta seperti ini memberikan ruang bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang menjadi diri mereka yang terbaik. Sementara itu, dalam konteks rohani, cinta tanpa syarat yang ditunjukkan Bunda Maria kepada kehendak Allah mengajarkan kita bahwa semakin besar cinta kita kepada Allah, tanpa syarat dan tanpa tuntutan, semakin besar pula kemampuan kita untuk berserah sepenuhnya. Dari sikap berserah inilah, kita dimampukan menjadi saksi-Nya. Seperti yang kita mohon setiap kali mendaraskan Rosario, yaitu agar melalui hidup kita, nama Allah semakin dimuliakan.

Apabila kita kaitkan dengan Bulan Maria, cinta tanpa syarat telah Bunda Maria tunjukkan melalui penerimaan dan keberserahannya pada kehendak Allah. Sungguh suatu teladan yang luar biasa bagi umat manusia. Dalam kehidupan ini, kita mungkin pernah marah ataupun protes pada Tuhan ketika kita merasa Tuhan membiarkan kita melewati kepahitan hidup. Kita mungkin merasa ditinggalkan dan kecewa pada-Nya. Padahal, jika kita mampu melihat dari kacamata kasih, justru dari kepahitan itulah kita dapat lebih merasakan kasih Allah. Seperti yang tertulis pada 2 Korintus 2:19 “Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah selalu hadir sebagai Bapa yang menyertai dan penuh kasih.

Besarnya cinta Allah pada manusia juga terlihat dari penerimaan-Nya yang tak pernah berkesudahan. Ketika kita datang kepada-Nya dengan hati yang hancur dan penuh penyesalan, Allah tidak hanya mengampuni, tetapi juga merangkul kita kembali dalam pelukan-Nya. Inilah yang disebut sebagai rekonsiliasi. Seperti tertulis dalam 1 Yohanes 1:9, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”

Berbeda halnya dengan hubungan antar manusia, pengampunan sering kali tidak langsung diikuti oleh rekonsiliasi. Ada jarak, ada luka, ada waktu yang dibutuhkan. Namun Allah berbeda. Ia bukan hanya memaafkan, tetapi juga mengembalikan keutuhan relasi kita dengan-Nya. Setiap kali kita bertobat, kita tak pernah ditolak, karena kasih-Nya tidak berdasar pada layak atau tidaknya kita, melainkan pada kerahiman-Nya.

Sayangnya, cinta kita pada Allah sering kali masih bersyarat. Kita mencintai-Nya saat hidup berjalan baik, saat doa-doa kita dijawab sesuai harapan. Namun ketika kenyataan tak sesuai keinginan, kita mulai menjauh. Bahkan, mungkin kita berucap dalam hati, “Saya akan ke Gereja jika Tuhan mengabulkan doa saya,” atau “Saya akan percaya Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih jika hidupku berjalan sesuai rencanaku”. Tanpa sadar, kita menjadikan cinta kita pada Allah sebagai transaksi.

Dalam keheningan batin, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri:

  • Apakah saya masih mencintai Allah saat hidup tidak berjalan sesuai rencana saya?
  • Apakah saya percaya pada kasih Allah meski doa saya belum terkabul?
  • Apakah saya bisa berkata “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” dengan penuh iman seperti Bunda Maria meski saya masih belum mengerti jalan-Nya?
  • Apakah saya meyakini bahwa rencana Allah adalah rencana keselamatan sekalipun bertentangan dengan keinginan saya?
  • Apakah saya masih bisa merasakan Allah sebagai Bapa yang hadir dan penuh kasih meskipun sedang mengalami kepahitan hidup?

Cinta sejati yang kita terima dari Allah hendaknya tidak berhenti dalam diri kita sendiri. Seperti Bunda Maria yang meneruskan kasih Allah melalui perannya sebagai ibu Yesus, kita pun dipanggil untuk menyebarkan cinta itu dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu wujud nyata cinta adalah empati, yaitu kemampuan untuk memahami pemikiran dan perasaan orang lain sehingga kita mampu untuk hadir dan peduli pada sesama. Ketika kita bersikap hangat, menerima orang lain tanpa menghakimi, dan memberi dukungan dalam kesulitan, kita sedang menjadi saluran kasih Allah.

Seperti tertulis dalam 1 Yohanes 4:11, “Saudara-saudaraku yang terkasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi”. Maka, di Bulan Maria ini, mari kita belajar mencintai sesama dengan berempati dan bersikap penuh kehangatan. Mari membiarkan kasih Allah menjamah luka-luka dalam diri kita, dan menyebarkan kasih tersebut pada sesama. Karena kasih yang sejati adalah kasih yang mengalir, dari Allah kepada kita, dan dari kita kepada dunia. Kiranya kita dapat selalu merasakan penyertaan dan kasih Allah di setiap langkah kita.

Referensi:

  • Rogers, C. R. (1959). A theory of therapy, personality, and interpersonal relationships as developed in the client-centered framework. In S. Koch (Ed.), Psychology: A study of a science, 3, 184–256. McGraw Hill.

Sumber gambar:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *