Mengenal 2 Pendekatan Kebahagiaan, Manakah yang Lebih Efektif?

14 Januari 2024 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Tak terasa kita kembali memasuki tahun yang baru. Memulai kembali bab baru dari buku kehidupan. Biasanya, awal tahun identik dengan berbagai resolusi, yang tentunya diharapkan membawa kebahagiaan. Atau mungkin kebahagiaan itu sendiri yang menjadi resolusi?

Berbicara soal kebahagiaan, biasanya kita memiliki ‘syarat’ yang bisa saja berbeda antara satu orang dengan yang lain. Namun pada umumnya, perasaan bahagia muncul saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Sayangnya, hidup tak selalu berjalan sesuai ekspektasi kita. Bahkan, ada kalanya kita mau tak mau dipertemukan dengan situasi yang selama ini kita coba hindari. Adanya kesenjangan antara realita dengan ekspektasi inilah yang bisa memunculkan penderitaan (Theodoru, 2018). Lalu, apakah artinya kita tak boleh dan tak bisa bahagia? Bukankah Tuhan menyayangi anak-anak-Nya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu dua pendekatan kebahagiaan, yaitu hedonic dan eudaimonic (Schaffner, 2023; Vinney, 2020). Hedonic berarti mengejar kenyamanan dan menghindari ketidaknyamanan, misalnya shopping, berburu kuliner yang menggoda lidah, rumah mewah, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Sebaliknya, eudaimonic merujuk pada mengintegrasikan kenyamanan dan ketidaknyamanan atau penderitaan. Dengan kata lain, eudaimonic berfokus pada makna sementara hedonic berfokus pada hal-hal yang mendatangkan kesenangan (Schaffner, 2023).

Lalu, mana yang lebih baik? Kedua pendekatan, baik hedonic maupun eudaimonic, mampu meningkatkan kepuasan hidup dan menurunkan stres (Huta, 2014). Keduanya bisa saling melengkapi, di mana kegiatan hedonic dapat meningkatkan emosi positif secara instan sementara kegiatan eudaimonic cenderung bersifat jangka panjang dan mengarah pada pengembangan diri (Huta, 2013; Huta & Ryan, 2010; Schaffner, 2023). Meski begitu, kita perlu berhati-hati dalam menerapkan pendekatan hedonic agar tak terjebak dalam siklus mengejar kebahagiaan atau yang disebut sebagai ‘hedonic treadmill’. Sebagai contoh, Anda pasti pernah merasa sangat senang ketika mendapatkan suatu barang yang diidam-idamkan, tapi beberapa bulan kemudian, atau bahkan mungkin tak sampai 1 bulan sudah merasa biasa saja. Hal ini terjadi karena tak peduli seberapa banyak atau besar yang kita dapatkan, kita akan beradaptasi dengan situasi baru yang akan kembali menjadi standar kebahagian yang baru, sehingga kita terdorong untuk semakin meningkatkan kebahagiaan lagi dengan cara mengejar hal-hal eksternal (Vinney, 2020).

Pandangan yang berbeda ditawarkan oleh eudaimonic. Ketidaknyamanan atau penderitaan yang dialami justru menjadi ruang belajar untuk menemukan makna (Schaffner, 2023). Kita jadi memahami apa yang dikehendaki Tuhan untuk kita pelajari lagi, sehingga kita semakin meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan hubungan dengan-Nya.

Bukankah hidup adalah proses belajar tanpa henti? Kita mungkin tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi sebenarnya kita selalu mendapatkan apa yang jiwa kita butuhkan, yaitu pembelajaran. Walaupun terasa sulit dan pedih, namun apabila dilihat dari kacamata cinta, penderitaan dan kepahitan hidup bisa dimaknai sebagai tantangan untuk semakin beriman dan mendekatkan diri pada Tuhan, sumber kelegaan dari kesesakan hidup.

Setelah mengenal kedua pendekatan kebahagiaan tersebut, apakah berarti Tuhan tidak sayang pada kita dengan mengizinkan kita mengalami penderitaan? Dengan menilik pendekatan eudaimonic, tampaknya pertanyaan ini sudah terjawab ya. Semoga di tahun yang baru ini kita senantiasa dapat melihat berbagai situasi secara utuh dari perspektif makro, sehingga mampu memahami apa yang sebenarnya sedang dibisikkan Tuhan pada kita.

Referensi:

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2024
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan