Natal: Kado Kasih dalam Dekapan Ilahi

26 Desember 2024 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog.

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Tak terasa kita kembali memasuki penghujung tahun. Sebagai umat Katolik, Desember merupakan bulan yang istimewa karena kita akan merayakan lahirnya Sang Juru Selamat di dunia. Ya, kelahiran Yesus meskipun dalam kesederhanaan, tapi sangat bermakna, bagaikan kado atas cinta Allah pada manusia. Umumnya, Natal dirayakan dengan kegiatan saling berbagi kado. Jika direnungkan lebih dalam, kado tak selalu berbentuk barang. Hadirnya orang sekitar dan diri kita pun bisa diartikan sebagai kado.

Sebagai makhluk sosial, adalah hal yang penting bagi kita untuk tak hanya bersosialisasi, tapi juga merasa diterima dan didukung oleh orang-orang di sekitar kita. Kehadiran seseorang yang penuh kasih, baik itu orangtua, pasangan, guru/mentor, teman, ataupun orang asing sekalipun dapat memberikan rasa aman, mengurangi kecemasan, dan bahkan membantu penyembuhan luka batin. Barangkali saat ini terlintas berbagai wajah orang terkasih di benak Anda. Wajah dengan senyuman hangat yang hadirnya membawa kekuatan bagi Anda, terlebih di masa-masa sulit. Kehadirannya mungkin tak serta-merta memberi solusi terhadap masalah yang sedang Anda hadapi. Namun, seseorang yang melalui tutur kata atau sikapnya memberikan kekuatan baru bagi Anda sehingga Anda mampu merasakan bahwa Allah sungguh-sungguh hadir menyertai dan tak pernah meninggalkan umatnya sedetik pun. Mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan, menghadirkan cinta-Nya di tengah keterbatasan kita.

Apabila kita mampu merasakan kehadiran dan cinta Allah melalui orang-orang di sekitar kita, tak menutup kemungkinan kita pun juga dihadirkan di dunia ini, salah satunya untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Seperti doa yang dipanjatkan dalam Rosario, “Bapa, mampukanlah kami melanjutkan misi Putra-Mu, yaitu memberitakan Injil kepada semua orang agar kerajaan-Mu menjadi nyata di bumi ini”, hendaknya kita peka pada panggilan Allah. Salah satunya dengan menjalani berbagai peran kita dengan cinta yang besar, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 16:14, “Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih”.

Sejatinya, memberi adalah tindakan yang menyembuhkan. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan berbagi, baik melalui waktu, perhatian, ataupun bantuan, tak hanya membahagiakan penerima, tapi juga meningkatkan kesejahteraan mental orang yang melakukannya. Dalam kacamata iman, memberi adalah wujud cinta kasih yang diajarkan Yesus. Dalam Yohanes 15:12, Yesus berkata, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Menjadi saluran kasih tidak harus dilakukan melalui tindakan besar. Bahkan, tindakan kecil seperti mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan senyuman, atau menawarkan bantuan sederhana bisa menjadi berkat bagi orang lain. Tindakan-tindakan tersebut akan memperkuat rasa empati dan jalinan relasi, yang pada akhirnya membawa kebahagiaan dan makna dalam hidup kita.

Mengutip dari Bapa Paus Fransiscus dalam Evangelii Gaudium (2013), “Jika kita telah menerima kasih yang memulihkan makna pada hidup kita, bagaimana kita tak mampu membagikan kasih tersebut pada sesama?”. Di moment Natal ini, mari kita menjadi saksi Tuhan melalui tindakan kasih yang nyata bagi orang-orang di sekitar kita dan mensyukuri orang-orang yang telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam hidup kita. Selamat Natal, kiranya kasih Yesus menjadi lentera yang senantiasa memampukan kita untuk selalu menyebarkan kasih.  

Referensi:

  • Bowlby, J. (1988). A Secure Base: Parent-Child Attachment and Healthy Human Development. Basic Books.
  • Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2010). “Loneliness Matters: A Theoretical and Empirical Review of Consequences and Mechanisms”. Annals of Behavioral Medicine, 40(2), 218–227.
  • Paus Fransiskus. (2013). Evangelii Gaudium. https://www.dokpenkwi.org/wp-content/uploads/2017/08/Seri-Dokumen-Gerejawi-No-94-EVANGELII-GAUDIUM-1.pdf
  • Pope Benedict XVI. (2012). Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives.
  • Seligman, M. E. P. (2002). Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. Free Press.

Sumber gambar:

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan