Pengakuan Dosa Sebagai Pembersihan Mata Spiritual, Apa Maksudnya?

25 Maret 2024 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M. Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Sebentar lagi kita akan merayakan serangkaian Pekan Suci Paskah. Dalam menyambut Hari-Hari Suci tersebut, persiapan batin tentu perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan menerima Sakramen Tobat melalui Pengakuan Dosa. Sakramen Tobat juga disebut sebagai Sakramen Rekonsiliasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut ‘reconciliation’, berasal dari bahasa Latin ‘reconcilius’, di mana ‘con’ berarti ‘dengan’ dan ‘cilius’ berarti ‘rambut’ atau ‘bulu mata’. Apabila diartikan secara bersama, ‘concilius’ berarti ‘berkedip’ dan ‘re’ berarti ‘lagi’. Ketika kita berkedip, kita sedang membersihkan mata agar bisa melihat secara lebih jelas. Dengan begitu, reconciliation bermakna mengedipkan ‘mata spiritual’ atau jiwa kita sehingga mampu melihat secara lebih jelas dan harmoni (Prieur, 2002).

Sebelum melakukan Pengakuan Dosa, kita akan diajak untuk melakukan Pemeriksaan Batin yang erat kaitannya dengan refleksi diri. Hal ini bisa jadi terasa menyakitkan karena memunculkan perasaan bersalah dan penyesalan sehingga mendorong kita untuk rekonsiliasi atau mengakui kesalahan di hadapan Tuhan (Todd, 1985). Ampunan dari Tuhan diyakini sebagai ampunan yang sempurna dan berdampak, baik bagi kehidupan sementara maupun abadi. Ampunan dari Tuhan akan memulihkan relasi kita dengan-Nya karena melibatkan rekonsiliasi. Berbeda dengan ampunan duniawi yang terpisah dengan rekonsiliasi (Fincham, 2020). Orang yang meyakini bahwa dirinya telah diampuni oleh Tuhan akan lebih sejahtera secara psikologis karena adanya penurunan rasa bersalah dan penyesalan serta lebih mampu memaafkan secara tulus orang yang telah menyakitinya (Krause & Ellison, 2003). Tak hanya itu, mengakui kesalahan dan meminta maaf juga bisa meningkatkan kesehatan fisik. Hal inilah yang membuat Pengakuan Dosa dianggap sebagai ‘terapi’ di Abad Pertengahan (Harvey, 2018).

Lebih lanjut, Pengakuan Dosa dapat menjadi salah satu bentuk pengungkapan diri, yaitu membagikan informasi mengenai diri sendiri pada orang lain (Cozby, 1973; Pennebaker & Keough, 1999; Wheeless & Grotz, 1976). Hal ini tak hanya akan menurunkan gejala stres, namun juga memperbaiki suasana hati, meningkatkan sistem imun tubuh, dan mendapat insight atau hikmat atas apa yang terjadi (Pennebaker & Keough, 1999; Stiles, 1987; Tedeschi dkk., 2018; Tedeschi & Calhoun, 2004). Selain itu, kita akan merasa lebih dekat dengan Tuhan dan tingkat spiritualitas akan meningkat  (Murray, 2024).

Meskipun mengakui kesalahan dan meminta maaf mendatangkan banyak manfaat, namun hal ini tidaklah mudah dilakukan. Rasa bersalah dan penyesalan yang muncul dapat ‘mencederai’ atau mengancam ego kita sehingga mendorong munculnya mekanisme pertahanan diri berupa penyangkalan bahwa diri telah melakukan kesalahan (Todd, 1985; Winch, 2018). Hal ini akan membuat diri melihat realitas secara terdistorsi. Dengan kata lain, mengubah fakta di pikiran sehingga perasaan bersalah tak lagi muncul (Winch, 2018).

Agar bisa lebih mudah mengakui kesalahan, kita bisa melihat diri kita yang saat ini berbeda dengan yang dahulu. Kita perlu menyadari bahwa walaupun terasa sulit dan menyakitkan, namun mengakui kesalahan akan membantu kita untuk berdamai dan menerima diri seapa adanya sehingga kedewasaan iman akan semakin bertumbuh dan hubungan dengan Tuhan dapat kembali erat (Catholic World Mission, n.d.; Whitbourne, 2022). Semoga kita senantiasa dimampukan untuk mengedipkan mata spiritual kita sehingga mampu melihat kenyataan seapa adanya tanpa terdistorsi  oleh dorongan pembenaran diri.

Referensi

Sumber Gambar:

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2024
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan