Pesta Pembaptisan Tuhan: Ketika Identitas dan Misi Bertemu, Apa Panggilan Kita?

16 Januari 2025 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Tahun baru, semangat baru. Ya, awal tahun seringkali diwarnai oleh resolusi, target, dan rencana baru. Berusaha untuk menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun, seberapa sering kita memulai tahun dengan benar-benar merenungkan panggilan hidup kita? Dalam liturgi Gereja Katolik, bulan Januari menghadirkan Pesta Pembaptisan Tuhan—momen yang mengundang kita untuk merefleksikan makna awal baru yang sejati, baik dalam hubungan kita dengan Allah maupun panggilan hidup kita.

Sebagaimana diceritakan dalam Injil, Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan, bukan sekadar ritual biasa. Itu adalah momen ketika langit terbuka, Roh Kudus turun seperti burung merpati, dan suara Allah Bapa terdengar, “Inilah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Peristiwa ini menandai awal misi publik Yesus sebagai Mesias, yang akan membawa keselamatan bagi dunia.

Apabila dilihat dari sisi psikologi, momen pembaptisan ini merefleksikan simbol peralihan penting dalam hidup seseorang. Dalam teori Self-Concept yang digagas oleh Carl Rogers, seseorang perlu mengenali nilai dirinya dan memiliki kejelasan identitas untuk menjalani hidup yang bermakna. Pembaptisan Yesus meneguhkan identitas-Nya sebagai Anak Allah, sekaligus menunjukkan panggilan hidup-Nya. Lalu, bagaimana dengan kita? Sebagai orang yang telah dibaptis, kita juga dipanggil untuk mengenali identitas kita sebagai anak-anak Allah dan menjalani panggilan hidup yang diberikan-Nya.

Dalam kehidupan modern, banyak orang melihat awal tahun sebagai waktu untuk memperbaiki diri. Namun, seringkali perubahan itu berfokus pada hal-hal fisik, seperti karier, keuangan, atau kesehatan fisik. Memang tidak salah, tetapi awal baru yang sejati juga memerlukan refleksi mendalam tentang relasi kita dengan Allah dan sesama.

Dalam teori Growth Mindset miliknya, Carol Dweck menekankan pentingnya keyakinan bahwa kita selalu dapat berkembang dan memperbaiki diri. Salah satunya dengan cara belajar dari kesalahan. Hal ini sejalan dengan ajaran iman Katolik, yang mengajarkan bahwa Allah selalu memberikan kesempatan untuk memulai lagi melalui rahmat-Nya. Pembaptisan Kristus mengingatkan kita bahwa awal baru bukan hanya soal memperbaiki diri, tetapi juga menjawab panggilan untuk hidup dalam kasih dan misi sesuai dengan ajaran-Nya.

Untuk mampu memulai kembali di awal yang baru ini, kita perlu memiliki keberanian untuk melepaskan. Menilik teori Psychological Flexibility milik Steven Hayes, kemampuan untuk melepaskan keterikatan pada hal-hal yang tidak esensial adalah kunci untuk fokus pada nilai-nilai hidup yang penting. Dalam konteks iman, melepaskan berarti menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Allah dan mempercayai rencana-Nya.

Sikap berserah dan bersandar sepenuhnya pada Allah telah Yesus contohkan ketika dibaptis oleh Yohanes. Dari peristiwa tersebut, kita dapat melihat bagaimana Yesus menunjukkan kerendahan hati-Nya. Ia tidak hanya melepaskan kehendak-Nya sendiri, tetapi juga sepenuhnya menyerahkan diri pada misi yang diberikan oleh Bapa. Kita pun diajak untuk melakukan hal yang sama, yaitu melepaskan ego dan keinginan yang berlebihan, serta fokus pada panggilan hidup yang sejati.

Di awal tahun ini, mari kita bertanya kepada diri sendiri apakah pikiran, sikap, perkataan, dan perilaku kita telah sesuai dengan identitas sebagai anak Allah? Apa yang perlu kita lepaskan untuk menjalani hidup yang lebih bermakna? Dan bagaimana kita bisa menjawab panggilan kasih Allah dalam hidup sehari-hari?

Mari kita rayakan Pesta Pembaptisan Tuhan dengan merenungkan bahwa kita telah menerima rahmat awal baru dalam baptisan. Dengan merenungkan momen ini, kita diajak untuk memperkuat identitas sebagai anak-anak Allah, menemukan tujuan hidup yang bermakna, dan menjalani misi kasih yang telah dipercayakan kepada kita.

Langit telah terbuka, Allah telah menyebut kita anak-anak-Nya yang terkasih. Kini, saatnya kita melangkah dengan penuh harapan dan keyakinan dalam kasih dan misi-Nya.

Natal yang baru saja kita rayakan menunjukkan kasih Allah yang besar melalui kelahiran Yesus. Pembaptisan Tuhan mengundang kita untuk melanjutkan semangat Natal itu, tidak hanya dengan sukacita, tetapi juga dengan komitmen untuk hidup lebih dekat dengan Allah dan melayani sesama.

Referensi:

  • Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Springer Science & Business Media.
  • Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.
  • Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (1999). Acceptance and commitment therapy: An experiential approach to behavior change. Guilford Press.
  • Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
  • Snyder, C. R. (2002). Hope theory: Rainbows in the mind. Psychological Inquiry, 13(4), 249–275.
  • Vatican News. (n.d.). The Baptism of the Lord: A reflection. Retrieved from https://www.vaticannews.va

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan