Religiusitas sebagai Sarana Mencapai Titik Optimum Diri

27 April 2024 oleh Athanasia Dianri Susetiya Putri, M.Psi., Psikolog

Editor: Romo Yustinus Joko Wahyu Yuniarto, Pr.

Pada unggahan sebelumnya, kita sudah membicarakan tentang apa itu religiusitas dan bagaimana religiusitas berperan terhadap kesehatan fisik dan mental. Berbicara soal kesehatan mental, kesehatan mental sendiri merupakan suatu kondisi yang bersifat spektrum dengan ujung tertingginya adalah flourish, yaitu suatu kondisi di mana seseorang didominasi oleh emosi/perasaan positif, mudah bangkit saat terjatuh, dan mampu berfungsi secara optimal, baik dalam kehidupan personal maupun sosialnya (American Psychological Association, 2024; Huppert, 2011).

Flourish didukung oleh religiusitas. Seseorang yang memiliki keyakinan religi yang kuat cenderung memiliki tingkat flourish yang besar (Chen dkk., 2024). Flourish sendiri dapat dicapai melalui PERMA yang merupakan akronim dari positive emotions, engagement, positive relationships, meaning, dan accomplishments (Seligman, 2012). Apabila dikaitkan dengan konteks religiusitas, PERMA dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:

  • Positive emotions (emosi-emosi positif)

Emosi positif bukan hanya sebatas ‘bahagia’, melainkan juga ada unsur harapan, minat, sukacita, cinta, kasih, dan kebersyukuran. Berbagai emosi positif tersebut dapat kita rasakan ketika mengikuti Perayaan Ekaristi di Gereja, membaca ayat-ayat Kitab Suci yang menguatkan iman kita, ataupun ketika terlibat dalam kegiatan pelayanan Gereja atau perkumpulan Jemaat.

  • Engagement (keterlibatan)

Bapak/Ibu, Saudara-Saudari, pernahkah Anda sedang melakukan suatu hal namun pikiran Anda berkelana entah ke masa lalu atau masa depan, seperti terlalu menyesali yang sudah terjadi atau sebaliknya, terlalu mengkhawatirkan apa yang belum terjadi? Hal ini menandakan bahwa kita belum benar-benar hidup di masa kini. Untuk bisa flourish, kita perlu berada sepenuhnya ‘di sini dan saat ini’. Dengan kata lain, tak hanya badan saja yang berada di sini dan kini, namun juga pikiran. Artinya, kita perlu sungguh-sungguh fokus pada hal yang sedang kita kerjakan. Jika dikaitkan dengan religiusitas, engagement dapat dipraktikkan dalam segala bentuk kegiatan, terutama dalam berdoa dan berkontemplasi setelah membaca ayat Kitab Suci.

  • Relationships (relasi/hubungan)

Relasi yang hangat dan harmonis juga mendukung tercapainya flourish. Dalam Katolik, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan diri dalam berbagai tugas pelayanan Gereja dan perkumpulan Jemaat.

  • Meaning (makna)

Dalam menjalani kehidupan, tentu kita mengalami berbagai pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyebalkan, atau bahkan menyesakkan. Agar bisa flourish, kita perlu mampu memperoleh makna dari setiap peristiwa yang dialami, tak terkecuali peristiwa yang tak menyenangkan. Makna bisa diperoleh dari mencoba melihat situasi dari perspektif makro dengan lensa kasih sehingga kita akan mampu memahami apa yang sebenarnya sedang Tuhan ajarkan pada kita. Untuk dapat menemukan makna di tengah kepahitan hidup, kita bisa menggunakan positive religious coping, yaitu melihat tantangan dari lensa kasih dan terang Tuhan sehingga hubungan dengan Tuhan terasa aman dan nyaman (Francis dkk., 2019; Pargament dkk., 2000; Surzykiewicz dkk., 2022).

  • Accomplishment/achievement (pencapaian)

Flourishing terjadi ketika pencapaian berkaitan dengan usaha mencapai sesuatu untuk mengembangkan diri. Artinya, pencapaian tak melulu soal hal eksternal seperti materi dan popularitas, namun juga bisa dalam hal intrinsik, seperti pengembangan diri. Bahkan, tujuan intrinsik terbukti lebih mampu meningkatkan kesehatan mental. Dalam kaitannya dengan ke-Katolik-an, kita dapat meningkatkan kebiasaan-kebiasan umat Kristen seperti yang tertulis dalam Puji Syukur (no. 8).

Bapak-Ibu, Saudara-Saudari terkasih dalam Kristus, ulasan di atas menunjukkan bahwa kegiatan agama dapat mendukung kesejahteraan psikologis yang tentunya akan berdampak ke kesehatan fisik. Meski begitu, hal tersebut cenderung akan terjadi apabila kegiatan yang kita jalani dan libati dimotivasi oleh dorongan intrinsik. Artinya, kita  melakukannya karena didorong oleh iman yang tulus dan koneksi spiritual yang kita rasakan (Allport & Ross, 1967). Oleh karena itu, ada baiknya kita berefleksi apakah kita sudah meluangkan cukup waktu dan tenaga untuk terlibat dalam pelayanan Gereja? Apa yang sebenarnya memotivasi kita untuk menjalani berbagai kegiatan religi? Dan apakah kita sudah mengamalkan ajaran Tuhan kita Yesus Kristus dalam setiap peran yang kita emban? Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita dengan Roh Kudus-Nya sehingga kita tak hanya terlibat dalam kegiatan religi, namun juga memperoleh dan mengamalkan nilai-nilai kasih dan keselamatan di dalamnya.

Referensi

Sumber gambar:

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2024
Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pringgolayan